AKHIR KITA ADALAH AWAL ALLAH
Begitu kita nampak hukum Taurat, kita segera mengira bahwa kita harus memenuhi tuntutannya. Ingatlah, meskipun hukum Taurat itu baik dan benar, kalau itu diterapkan pada diri orang yang salah, maka semuanya akan menjadi salah. “Manusia celaka” di Roma 7 mencoba memenuhi tuntutan hukum Allah berdasarkan dirinya, dan itulah kesulitannya. Pemakaian kata “aku” yang berulang-ulang dalam fatsal itu, memperlihatkan kepada kita kaitan kegagalan.
“Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku lakukan, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku lakukan” Roma7:19.
Dalam hati orang itu terdapat konsepsi yang salah secara mendasar. Ia mengira Allah memintanya memelihara hukum Taurat, karena itu ia mencoba melakukannya. Sebenarnya Allah tidak menuntut itu dari dirinya. Apa hasilnya? Ia menemukan bahwa dirinya tidak saja bisa melakukan apa yang menyenangkan hati Allah, malah melakukan apa yang tidak menyenangkan hatiNya. Maskipun ia telah berusaha sekuatnya untuk bisa melakukan kehendak Allah, tetapi yang ia lakukan justru adalah perkara yang bertentangan dengan kehendakNya.
SYUKUR KEPADA ALLAH
Roma 6 menanggulangi”tubuh dosa”, Roma 7 menanggulangi”tubuh maut ini” Roma.6:6; 7:24. Dalam fatsal 6 seluruh persoalan yang terpampang di depan kita adalah dosa; dalam fatsal 7 seluruh persoalan yang terpampang di depan kita adalah maut. Apa perbedaan tubuh dosa dengan tubuh maut? Terhadap dosa[ yaitu segala hal yang tidak berkenan kepada Allah ], aku memiliki tubuh dosa – suatu tubuh yang aktif terlibat dalam dosa.
Tetapi terhadap hukum Taurat Allah [ yaitu yang menyatakan kehendak Allah ], aku memiliki tubuh maut. Keaktifanku dalam hal dosa membuat tubuhku menjadi tubuh dosa; kegagalanku dalam hal kehendak Allah membuat tubuhku menjadi tubuh maut. Dalam hal yang jahat duniawi, dan setani, aku sepenuhnya positif;; tetapi dalam hal yang berhubungan dengan kekudusan dan yang bersifat surgawi, aku sepenuhnya negatif.
Sudahkah kita menemukan kebenaran ini di dalam hayat kita? Kalau kita hanya menemukannya di dalam Roma 6 dan 7, itu tidaklah berguna. Pernahkah kita menyadari bahwa dalam hal melakukan kehendak Allah, kita selalu dibebani oleh sesosok tubuh yang tidak berhayat? Sewaktu kita membicarakan perkara duniawi, kita sama sekali tidak menemukan kesukaran apa-apa, tetapi ketika hendak berbicara bagi Tuhan, lidah kita seakan-akan terikat. Ketika kita ingin berdoa, kita merasa mengantuk. Sewaktu kita ingin melakukan sedikit pekerjaan bagi Tuhan, kesehatan kita seolah-olah terganggu. Kita bisa mengerjakan apa saja dengan leluasa, kecuali yang bersangkutan dengan kehendak Allah. Dalam tubuh kita ada sesuatu yang tidak serasi dengan kehendk Allah.
Apakah yang dimaksud dengan maut? Dalam 1 Korentus ada satu ayat yang cukup tepat yang dapat menggambarkannya, 1KORENTUS.11:30. Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal”. Maut adalah kelemahan yang mencapai puncaknya – lemah, sakit, mati. Maut berarti kelemahan yang mutlak; yaitu kita lemah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lemah lagi. Memiliki tubuh maut dalam hal kehendak Allah berarti dalam hal melayani Allah, saya mutlak lemah sehingga tidak dapat ditolong lagi. Paulus berseru,” Aku manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?”
Betapa baiknya jika setiap orang menjerit seperti Paulus. Tiada musik yang lebih merdu daripada teriakan yang paling rohaniah dan alkitabiah ini. Hal itu hanya dapat dihasilkan dari orang yang telah menyadari bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menyerah dan tidak bertekad lebih lanjut. Sebelumnya, setiap kali menghadapi kegagalan, ia lalu memperbarui tekatnya serta menggandakan kekuatan tekadnya. Akhirnya ia tahu, bahwa tekadnya tidak ada gunanya, dan dengan putus asa ia berteriak,” Aku, manusia celaka!”
Laksana orang yang mendadak terjaga dari tidurnya dalam gedung yang terbakar, ia hanya dapat menjerit minta tolong, karena ia sudah benar-benar putus asa terhadap dirinya. Sesudah,Anda putus asa terhadap diri sendiri? Atau masihkah Anda mengharapkan melalui lebih banyak membaca Alkitab dan berdoa Anda bisa menjadi orang Kristen yang lebih baik? Membaca Alkitab dan berdoa itu tidak salah; Allah pun tidak menginginkan kita mengabaikannya.
Namun kita keliru jika melakukan hal itu untuk mencapai kemenangan. Pertolongan kita terletak pada Dia; Dialah tujuan pembacaan Alkitab dan doa kita. Sandaran kita adalah Kristus semata. Untungnya, si “celaka” ini tidak hanya melampiaskan keadaan celakanya; ia pun mengajukan pertanyakan yang bagus,” Siapakah yang akan melepaskan aku?” Dulu, ia mencari-cari sesuatu; sekarang ia mengharapkan seorang untuk dapat menolongnya. Dulu ia mencari penyelesaian masalahnya di dalam dirinya; kini ia mencari seorang Juruselamat di luar dirinya. Ia tidak lagi menggunakan kekuatannya sendiri; sekarang semua harapannya terarah pada Orang lain.
Bagaimana kita mendapat pengampunan dosa-dosa? Apakah melalui membaca Alkitab, berdoa, memberi sedekah.... dan lain sebagainya? Tidak, melainkan dengan menengadah kepada salib, percaya kepada apa yang telah dirampungkan Tuhan Yesus. Menurut prinsip itu juga kita mendapat kelepasan dari dosa. Begitu pula dengan hal mencari perkenan Allah. Dalam hal pengampunan, kita memandang Kristus yang disalib; dalam hal kelepasan dari dosa, dan melakukan kehendak Allah, kita memandang Kristus yang berada di dalam kita. Bagi yang pertama, kita bersandar pada apa yang telah dirampungknNya; bagi yang selanjutnya, kita bersandarpada apa yang dikerjakanNya di dalam kita. Jadi dalam kedua hal ini kita hanya bersandar kepadaNya, harus Dialah yang melakukan semuanya bagi kita.
Pada zaman Surat Roma ditulis, hukuman bagi seorang pembunuh dilaksanakan dengan cara yang sangat khusus dan mengerikan. Mayat si korban diikatkan pada si pembunuh yang masih hidup; muka lawan muka, tangan lawan tangan, kaki lawan kaki, demikian dibiarkan terus terikat sampai akhirnya si pembunuh itu juga mati. Si pembunuh diizinkan pergi ke mana saja sesukanya, tetapi mayat si korban harus tetap melekat padanya. Adakah hukuman yang lebih mengerikan daripada hukuman tersebut? Demikianlah gambaran yang dikemukakan Paulus. Seoleh-olah dirinya terikat dengan sesosok jenazah – “tubuh maut “nya sendiri – dan tidak dapat melepaskan diri. Kemanapun ia pergi, ia selalu dibebani beban yang mengerikan itu. Akhirnya, ia tidak tahan lagi dan berseru, “Aku manusia celaka! Siapa yang akan melepaskan aku......?” Kemudian tiba-tiba teriakan putus asanya berubah menjadi kidung pujian. Ia sudah menemukan jawaban dari persoalannya.” Syukur kepada Allah melalui Yesus Kristus, Tuhan kita!” Roma 7:25.
Kita tahu melalui Tuhan Yesus kita mengalami pembenaran, tanpa sedikit pun usaha di pihak kita. Namun kita mengira pengudusan tergantung pada usaha kita sendiri. Kita tahu, pengampunan dosa dapat kita peroleh hanya dengan sepenuhnya bersandar pada Tuhan; tetapi kita menyangka, bahwa kita tidak akan beroleh kelepasan dari dosa dengan melakukan sesuatu. Kita kuatir, kalau kita tidak berbuat sesuatu, maka apa pun tidak akan terjadi. Setelah kita beroleh selamat, kebiasaan lama kita yang senantiasa ingin “ berbuat “ itu muncul kembali, dan kita pun mulai berusaha sendiri lagi.
Tetapi. Firman Allah memberi tahu kita, “ Sudah selesai!” Yohanes. 19:30. Ia telah melakukan seluruhnya di kayu salib untuk mengampuni kita, Ia pun telah melakukan semuanya di dalam kita untuk kelepasan kita. Atas ke dua hal ini, Dialah si Pelaku; “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu.” Alangkah indah kalimat pertama yang diucapkan orang yang mengalami kelepasan, “ Syukur kepada Allah!” Jika seorang memberi Anda segelas air, Anda tentu mengucapkan terima kasih kepada orang itu, bukan kepada orang lain. Mengapa Paulus mengatakan,” Syukur kepada Allah”? Karena Allahlah yang telah melakukan semuanya.
Kalau Paulus sendiri yang mengerjakan, tentu ucapannya menjadi,”Syukur kepada Paulus!” Tetapi Paulus nampak, bahwa ia tidak lain “Manusia celaka” dan Allah sendiri yang mampu memenuhi kebutuhannya. Sebab itu, ia bersyukur kepada Allah. Allah ingin melakukan semuanya, karena semua kemuliaan harus dimiliki olehNya saja. Seandenya kita ikut mengerjakan sebagaian, kita akan berhak menuntut sebagian kemuliaan. Namun, hanya Allah yang patut memperoleh segalanya. Dia yang melakukan semuanya dari awal sampai akhir. Bukan kita berhenti di sini, maka pembahasan kita dalam bab ini akan tampak negatif dan tidak praktis.
Seakan-akan hidup sebagai orang Kristen hanyalah duduk diam, sambil menunggu sesuatu terjadi. Tentu, sesungguhnya bukan demikian. Setiap orang yang benar-benar hidup dalam firman ini, pasti mengetahui bahwa ini adalah perkara iman yang sangat positif dan aktif di dalam Kristus, dan merupakan prinsup yang seluruhnya baru – hukum Roh Hayat. Selanjutnya kita akan melihat hasil prinsip hayat baru ini di dalam kita.
Pdt. Felix Agus Virgianto
Khotbah Minggu Tgl. 22 Maret 2009
No comments:
Post a Comment